Outsourcing Tenaga Kerja Dapat Dianggap Human Trafficking

Ini merupakan perbudakan modern dan degradasi nilai manusia, dimana buruh hanya dipandang sebagai komoditas atau barang dagangan.'

Sekitar dua tahun yang lalu, 37 organisasi yang sebagian besar adalah serikat pekerja/buruh mengajukan permohonan uji materiil terhadap UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dimana dalam nota permohonannya, salah satu bagian dari UU tersebut yang mereka anggap bertentangan dengan UUD 1945 adalah terkait dengan pemborongan pekerjaan (outsourcing) sebagaimana diatur dalam Pasal 64-66.

Para pemohon berargumen, penerapan sistem kerja outsourcing hanya akan menjadikan pekerja/buruh sebagai �sapi perahan' semata bagi para pemodal. Pasalnya, sistem ini memungkinkan pekerja/buruh dengan begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan, dan kemudian di-PHK ketika tidak dibutuhkan lagi.

Persoalan outsorcing ini kembali mengemuka dalam Seminar Nasional Ketenagakerjaan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pembatalan Pasal Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha dalam UU Ketenagakerjaan (14/12). Ini merupakan perbudakan modern dan degradasi nilai manusia, dimana buruh hanya dipandang sebagai komoditas atau barang dagangan, tegas Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Anwar Ma'ruf dalam seminar tersebut.

Anwar yang dalam proses persidangan di MK membawa bendera Sekjen Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU) merupakan salah satu pihak yang mengajukan permohonan uji materiil.

Dalam persidangan di MK dua tahun lalu itu, perwakilan pemerintah menjelaskan ketentuan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan mengakomodir kenyataan adanya pekerjaan-pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya merupakan penunjang bagi kegiatan usaha tertentu yang pada umumnya dilakukan melalui pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa. Mereka berdalih rumusan outsourcing, khususnya dalam Pasal 65 yang menetapkan syarat-syarat yang ketat, justru memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh.

Pasal 65

(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.

(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan

d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Melalui putusan No.012/PUU-I/2003, MK--dengan pertimbangan yang sama dengan pihak pemerintah--akhirnya memutuskan untuk menolak keberatan pemohon khusus untuk pasal mengenai outsourcing.

Namun, putusan majelis kala itu ternyata tidak bulat. Dua anggota majelis, Prof. Abdul Mukhtie Fadjar dan Prof. HM Laica Marzuki, menyampaikan dissenting opinion(pendapat berbeda, red.). Mereka menilai UU Ketenagakerjaan secara umum kurang ramah kemanusiaan dan kurang memberi perlindungan terhadap terhadap buruh.

Secara spesifik, keduanya menunjuk pada pasal-pasal mengenai outsourcing (Pasal 64-66). Menurut mereka, dengan konsep outsourcing, buruh tidak akan tenang bekerja karena sewaktu-waktu dapat terancam PHK dan hanya dipandang sebagai komoditas belaka.

Human trafficking

Menanggapi permasalahan ini, ahli hukum perburuhan Aloysius Uwiyono mengatakan bahwa pada dasarnya ada dua bentuk outsourcing yang hendak diintrodusir oleh UU Ketenagakerjaan. Bentuk pertama adalah outsourcing pekerja (Pasal 66), dan bentuk kedua adalah outsourcing pekerjaan (Pasal 65).

Uwiyono menilai outsourcing bentuk pertama dapat dipandang sebagai human trafficking (perdagangan manusia, red.). Penilaian Uwiyono didasarkan pada asumsi dengan adanya perjanjian, dimana perusahaan penyedia jasa menyediakan tenaga kerja dan perusahaan pengguna (user) menyerahkan sejumlah uang, maka seolah-olah terjadi penjualan tenaga kerja.

Berbeda dengan PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia, red.), begitu dikirim ke luar negeri maka tenaga kerja memiliki hubungan kerja hanya kepada perusahaan tempat mereka bekerja di luar negeri, ujar Uwiyono yang juga menjadi saksi ahli ketika UU Ketenagakerjaan diuji dalam persidangan MK.

Sementara untuk jenis yang kedua, Uwiyono berpandangan tidak terjadi human trafficking (perdagangan manusia, red.). Menurutnya, dalam bentuk yang kedua ini, pekerja/buruh tetap memiliki hubungan kerja dengan perusahaan pemborong. Sedangkan, hubungan yang tercipta antara user dengan perusahaan pemborong hanyalah terkait dengan pekerjaan yang diborongkan tersebut.




Semoga Bermanfaat Buat Anda


SUMBER BERITA :