Status Hukum Karyawan yang Dirumahkan

PERTANYAAN :
Assalamualaikum wr. wb Saya adalah seorang karyawan (driver) pada sebuah Perusahaan (PT) yang saat ini dalam kondisi tidak menentu. Dengan kondisi itu, akhirnya kami dan beberapa karyawan lain dirumahkan dengan dibayar 50%. Namun, kami (driver) tidak mutlak dirumahkan, karena atas perintah perusahaan kami harus tetap melaksanakan tugas seperti biasa. Artinya, kami tetap melakukan tugas pekerjaan sebagaimana mestinya. Namun, pada karyawan bagian lain dirumahkan/diliburkan secara total, tetapi mendapat bayaran/upah yang sama 50%. Pertanyaan Saya, apakah memang ada peraturan atau Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berkaitan dengan masalah yang sedang kami hadapi? Mohon penjelasan. Terima kasih.


JAWABAN :

Kami akan menjelaskan hal yang Anda tanyakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), maka harus jelas dahulu status Saudara sebagai karyawan dalam perusahaan tersebut. Apakah saudara adalah karyawan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT/kontrak) atau karyawan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT/tetap)? Karena hal tersebut nantinya akan mempengaruhi hak-hak normatif Saudara.

Berdasarkan kronologis yang Saudara ceritakan, dapat dilihat bahwa Saudara adalah driver (sopir) pada perusahaan yang kondisinya tidak menentu. Sehingga membuat status para karyawan dirumahkan oleh perusahaan dengan dibayarkan 50% dari upah, termasuk Saudara sendiri. Saudara sebagai sopir tetap disuruh bekerja seperti biasa namun dengan upah dibayarkan hanya 50% saja.

Sesuai dengan Pasal 1 angka 30 UU Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan “upah adalah Hak Pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”

Berdasarkan ketentuan di atas, jika Saudara melakukan pekerjaan maka Saudara berhak atas upah penuh sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan bersama. Saudara dapat meminta upah penuh kepada perusahaan tempat Saudara bekerja. Jika perusahaan tersebut tidak memenuhi hak Saudara, maka Saudara dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial dengan dasar perselisihan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”);

Perselisihan Hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Namun, yang harus diperhatikan ialah bahwa sebelum mengajukan gugatan, harus terlebih dahulu dilakukan pendekatan-pendekatan secara bipartit, maupun tripartit dengan melibatkan pihak Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat.

Jika dikaitkan dengan masalah Saudara, peraturan perundang-undangan sendiri tidak mengatur/memberi penjelasan mengenai yang dimaksud dengan “dirumahkan”. Namun, di dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja kepada pimpinan perusahaan di seluruh Indonesia No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal (“SE 907/2004”) pada butir f menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja haruslah sebagai upaya terakhir, setelah dilakukan upaya berikut :

“f. Meliburkan atau Merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu.”

Sehingga dari isi SE 907/2004 di atas dapat dipahami bahwa merumahkan karyawan sama dengan meliburkan/membebaskan pekerja untuk tidak melakukan pekerjaan sampai dengan waktu yang ditentukan oleh perusahaan. Hal mana dilakukan perusahaan sebagai langkah awal untuk mengurangi pengeluaran perusahaan atau karena tidak adanya kegiatan/produksi yang dilakukan perusahaan sehingga tidak memerlukan tenaga kerja untuk sementara waktu.

Mengenai perusahaan tempat Saudara bekerja yang kondisinya sedang tidak menentu, tidak ada aturan yang memberikan hak agar perusahaan hanya dapat membayar upah karyawannya sebesar 50% saja. Namun, terdapat Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan Kearah Pemutusan Hubungan Kerja yang ditujukan kepada Kakanwil Disnaker yang isinya antara lain:

Sehubungan banyaknya pertanyaan dari pengusaha maupun pekerja mengenai peraturan merumahkan pekerja disebabkan kondisi ekonomi akhir-akhir ini, yang mengakibatkan banyak perusahaan mengalami kesulitan, sehingga sebagai upaya untuk penyelamatan perusahaan maka perusahaan menempuh tindakan merumahkan pekerja untuk sementara waktu.

Mengingat belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai upah pekerja selama dirumahkan maka dalam hal adanya rencana pengusaha untuk merumahkan pekerja, upah selama dirumahkan dilaksanakan sebagai berikut:

1. Pengusaha tetap membayar upah secara penuh yaitu berupa upah pokok dan tunjangan tetap selama pekerja dirumahkan,kecuali telah diatur lain dalam Perjanjian Kerja peraturan perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama.

2. Apabila pengusaha akan membayar upah pekerja tidak secara penuh agar dirundingkan dengan pihak serikat pekerja dan atau para pekerja mengenai besarnya upah selama dirumahkan dan lamanya dirumahkan.

3. Apabila perundingan melalui jasa pegawai perantara ternyata tidak tercapai kesepakatan agar segera dikeluarkan surat anjuran dan apabila anjuran tersebut ditolak oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berselisih maka masalahnya agar segera dilimpahkan ke P4 Daerah, atau ke P4 Pusat untuk PHK Massal

Artinya, pengusaha sebenarnya dapat membayarkan upah karyawan yang dirumahkan hanya 50% (lima puluh persen), namun hal tersebut harus dirundingkan terlebih dahulu dengan serikat pekerja maupun pekerjanya serta disepakati bersama.

Kemudian dalam Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dikatakan

“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeure), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Jadi, meskipun Saudara mengatakan perusahaan tersebut keadaaannya tidak menentu, tetap saja jika Saudara disuruh bekerja seperti biasa, maka Saudara berhak atas upah penuh sebagaimana ketentuan yang berlaku. Kecuali, jika telah ada kesepakatan dengan serikat pekerja atau pekerja mengenai pemotongan upah tersebut. Jika perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar upah penuh Saudara atau karyawannya, maka pengusaha tersebut dapat melakukan pemutusan hubungan kerja sebagaimana aturan yang berlaku dengan memberikan hak-hak karyawannya.

Demikian yang dapat kami jelaskan atas pertanyaan yang Saudara ajukan, kiranya bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

3. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/1998 tahun 1998tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan Kearah Pemutusan Hubungan Kerja


Semoga Bermanfaat Buat Anda

SUMBER BERITA :