Buruh Bisa Minta PHK – Pengusaha Mesti Lebih Taat Asas

Mahkamah Konstitusi menegaskan jaminan konstitusi
atas hak buruh mengajukan pemutusan hubungan kerja jika perusahaan lalai
membayar upah tepat waktu tiga bulan berturut-turut. Buruh bisa memohon
pemutusan hubungan kerja meski perusahaan kembali membayar upah para
pekerja tepat waktu.

”Hak pekerja untuk mendapatkan PHK (pemutusan hubungan kerja) tidak
terhalang dengan adanya tindakan pengusaha yang kembali membayar upah
pekerja secara tepat waktu setelah adanya permohonan PHK ke
pengadilan,” ujar hakim konstitusi Hamdan Zoelva, saat membacakan
putusan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan di Jakarta, Senin (16/7). Sidang dipimpin Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Mahfud MD.

MK mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 169 Ayat (1) Huruf
c UU Ketenagakerjaan yang diajukan Andriyani, buruh PT Megahbuana
Citramasindo, yang bergerak di bidang jasa penempatan tenaga kerja
Indonesia. Andriyani mengajukan permohonan PHK ke pengadilan hubungan
industrial (PHI) karena tidak menerima upah tepat waktu selama 18 bulan
sejak Juni 2009. PHI menolak permohonan dengan alasan perusahaan telah
membayar upah Andriyani tepat waktu kembali.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, membayar upah pekerja adalah
kewajiban hukum bagi pengusaha. Upah merupakan balasan atas prestasi
buruh. Kelalaian membayar upah dapat menimbulkan hak bagi buruh menuntut
pengusaha memenuhi kewajiban dan, jika upah tetap tak diberikan, pekerja
dapat meminta PHK. Kelalaian membayar upah pekerja tiga bulan
berturut-turut adalah bentuk pelanggaran serius atas hak-hak buruh.

”Menurut Mahkamah, dengan lewatnya waktu tiga bulan berturut-turut
pengusaha tidak membayar upah secara tepat waktu kepada pekerja, sudah
cukup alasan menurut hukum bagi pekerja untuk meminta PHK. Hak ini tidak
hapus ketika pengusaha kembali memberi upah secara tepat waktu setelah
pelanggaran tersebut terjadi,” kata Hamdan.

Menurut MK, Pasal 169 Ayat (1) Huruf c UU tersebut telah menimbulkan
ketidakpastian hukum. Hal itu setidaknya tampak dalam putusan PHI yang
menolak permohonan PHK Andriyani karena pengusaha kembali membayar upah
secara tepat waktu. Tanpa bermaksud mengadili sebuah kasus konkret,
ketentuan itu juga dinilai menghilangkan hak konstitusional pekerja
mendapatkan imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja seperti
dijamin dalam Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945.

Taat asas

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel
Siregar menyambut positif putusan ini karena menegaskan pemberi kerja
mesti membayar upah tepat waktu. Apalagi, Peraturan Pemerintah (PP) No
8/1981 tentang Perlindungan Upah juga mengatur denda keterlambatan
pembayaran upah.

Putusan MK sangat bermanfaat bagi buruh karena lebih memperkuat UU
Ketenagakerjaan dan PP No 8/1981. Kasus Andriyani menunjukkan pengawasan
ketenagakerjaan lemah sehingga buruh mengajukan uji materi untuk
perlindungan.

”Putusan MK ini seharusnya bisa dimaknai pengusaha untuk lebih patuh
terhadap UU dan peraturan. Kemenakertrans harus memperkuat putusan MK
tersebut dalam peraturan Menakertrans,” ujar Timboel.(ana/ham)



Semoga Bermanfaat Buat Anda


SUMBER BERITA :