Kasus Pemotongan Gaji Karyawan Secara Tidak Sah


Pertanyaan:
Kasus Pemotongan Gaji Karyawan Secara Tidak Sah

saya seorang karyawan yang bekerja di perusahaan industri manufacture yang sudah bekerja selama 6 tahun. Sejak Desember 2009 sampai sekarang gaji kami dipotong sebesar 30% dengan sepihak dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Bahkan, sampai sekarang pun belum ada kejelasan mengenai pemotongan itu. Jujur saya sudah cape dengan keadaan ini dan janji-janji manis para direksi, dan sekarang saya berencana untuk resign dari tempat saya bekerja, yang ingin saya tanyakan;
1. Apakah saya berhak meminta uang yang dipotong sebesar 30% itu, karena itu adalah hak saya?
2. Apakah saya berhak meminta pesangon sesuai peraturan dari Disnaker sesuai masa kerja saya?
3. Apabila perusahaan menolak memberikan ke dua item di atas apa yang harus saya lakukan? Demikian surat ini saya buat mohon pencerahannya.

Jawaban :

1.Pekerja memiliki hak untuk menerima upah dari Pengusaha atas suatu pekerjaannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya akan disebut UU Naker), yang menyatakan:
”Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan…”
Secara hukum, apabila pekerja tidak bekerja, maka upah tidak dibayar (lihat Pasal 93 ayat [1] UU Naker). Sedangkan, pemotongan upah mengenai denda atas pelanggaran yang dilakukan pekerja dapat dilakukan apabila hal tersebut diatur secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau perjanjian perusahaan (lihat Pasal 20 ayat [1] PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, yang selanjutnya akan disebut PP No. 8 Tahun 1981).
Pemotongan upah pekerja karena suatu pembayaran terhadap negara atas iuran keanggotaan/peserta untuk suatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial dan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, maka secara hukum pemotongan tersebut merupakan kewajiban dari pekerja (lihat Pasal 22 ayat [2] PP No. 8 Tahun 1981).
Perusahaan dapat meminta pekerja mengganti rugi dengan melakukan pemotongan upah, apabila terdapat kerusakan barang atau kerugian lain yang dimiliki atau asset perusahaan maupun pihak ketiga yang dikarenakan kesengajaan atau kelalaian pekerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) PP No. 8 Tahun 1981 yang menyatakan:
”(1) Ganti rugi dapat dimintakan oleh pengusaha dari buruh, bila terjadi kerusakan barang atau kerugian lainnya baik milik pengusaha maupun milik pihak ketiga oleh buruh karena kesengajaan atau kelalaian…”
Selanjutnya, besarnya pemotongan upah atas kerugian yang diderita oleh perusahaan yang disebabkan karena kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja tidak boleh melebihi 50% dari besarnya upah pekerja, (lihat Pasal 23 ayat [2] Jo. Pasal 24 ayat [1] Jo. ayat [2] PP No. 8 Tahun 1981).
Dengan demikian, apabila pemotongan upah yang dilakukan oleh perusahaan Saudara bukan karena kewajiban yang ditentukan oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bukan juga karena Saudara selaku pekerja melakukan kesalahan atau pelanggaran yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, maka pemotongan upah sebesar 30% seperti yang Saudara alami secara hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum ketenagakerjaan.
Terhadap permasalahan Saudara tersebut, maka patut diduga telah terjadi perselisihan hak antara Saudara selaku pekerja dengan Perusahaan selaku Pengusaha, karena tidak terpenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan, perjanjian kerja atau peraturan perusahaan (lihat Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang selanjutnya akan disebut UUPPHI).
Mengenai permasalahan tersebut, Saudara dapat mengadukan atau mencatatkan Perselisihan Hak mengenai pemotongan upah yang dilakukan perusahaan sebesar 30% tersebut ke Disnakertrans Provinsi/Kota setempat dengan tujuan membatalkan pemotongan upah (lihat Pasal 22 ayat [4] PP No. 8 Tahun 1981) yang dilakukan perusahaan dan meminta agar perusahaan mengembalikan upah yang telah dipotong tersebut.

2.Dapat kami jelaskan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 162 UU Naker, bagi pihak pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, hanya akan mendapatkan hak berupa Uang Penggantian Hak.
Hal ini akan berbeda konsekuensinya apabila pihak pekerja yang di-PHK oleh perusahaan, karena di dalam hal terjadinya PHK oleh perusahaan maka pihak perusahaan wajib untuk membayarkan uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak kepada pekerja (lihat Pasal 156 ayat [1] UU Naker).
Mengenai hak normatif Saudara apabila terjadi PHK dengan masa kerja 6 tahun dapat Saudara lihat dalam ketentuan Pasal 156 ayat (2) huruf g, ayat (3) dan ayat (4) UU Naker.
Dalam Pasal 156 ayat (2) huruf g UU Naker dinyatakan bahwa untuk masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, akan memperoleh pesangon sebanyak 7 (tahun) bulan upah;
Kemudian, pada Pasal 156 ayat (3) huruf b UU Naker, untuk masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, akan memperoleh uang penghargaan masa kerja sebanyak 3 (tiga) bulan upah;
Selain dari uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, terdapat juga komponen uang penggantian hak menurut Pasal 156 ayat (4) UU Naker berupa:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
3.Pada praktiknya, perselisihan hak antara pekerja dengan pengusaha seringkali berujung pada perselisihan PHK. Oleh karena itu, menurut kami, sebaiknya Saudara bersiap-siap dengan konsekuensi PHK. Dengan demikian, apabila Saudara berniat mengadukan atau mencatatkan persellisihan hak ke DisNakertrans baiknya dibarengi pula dengan pencatatan Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja pada Disnakertrans setempat di mana Anda bekerja. Selanjutnya, Mediator Disnakertrans setempat akan mengeluarkan Anjuran atas perselisihan tersebut, yang apabila salah satu pihak atau kedua belah pihaknya tidak sependapat atau tidak menjalankan Anjuran dengan sukarela, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Apabila terdapat perselisihan hak yang dibarengi dengan perselisihan PHK, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutuskan perkara perselisihan hak terlebih dahulu, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 86 UUPPHI, yang menyatakan :
“Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan…”
Demikian penjelasan dari kami, semoga dapat memberikan pencerahan atas permasalahan yang Saudara hadapi.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
3. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah

Semoga Bermanfaat Buat Anda

SUMBER BERITA :