ALIH DAYA – Segera Revisi UU Ketenagakerjaan
Sebagai anak, Andi Gani Nena Wea bangga pada ayahnya, Jacob Nuwa Wea, yang saat menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melahirkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang ini dinilai paling komprehensif sejak Indonesia merdeka. Tak hanya menyatukan aturan tenaga kerja yang tersebar sejak masa penjajahan Belanda hingga Orde Baru, UU itu juga mengakomodasi kepentingan buruh dan pengusaha.
Namun, sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Andi tak dapat membiarkan UU ini terus berlaku. ”UU ini ada plus-minusnya sehingga harus direvisi,” ujarnya kepada Kompas, Jumat (20/4).
Plus-minus UU tersebut antara lain soal sistem kerja waktu tertentu (outsource), selain upah dan jaminan sosial. ”Sistem itu bertujuan meningkatkan lapangan kerja. Praktiknya, tak sejalan UU. Banyak pengusaha nakal, pengawasan juga kurang, sehingga praktiknya melenceng,” ujarnya.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal menguatkan pandangan Andi. Menurut dia, sistem kerja waktu tertentu dengan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau alih daya membuat buruh tak terlibat langsung dalam proses produksi.
”Posisi lemah, buruh yang tak punya jaminan kerja, pesangon, dan asuransi kesehatan, mudah dipecat, serta upahnya lebih kecil dari buruh tetap. Ini menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh. Padahal, UU Ketenagakerjaan mengatur hak-hak pekerja dengan ketat,” kata Said, Rabu (25/4).
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Mudofir lebih lugas lagi. ”Sistem
kerja waktu tertentu menempatkan buruh sebagai komoditas dan alat produksi semata. Mereka dipekerjakan jika dibutuhkan, dikenakan PHK jika tak dibutuhkan,” ujarnya.
Sistem kerja waktu tertentu mengatur jenis pekerjaan yang dibolehkan hanyalah kegiatan penunjang atau di luar usaha pokok perusahaan, seperti tenaga keamanan, kurir, jasa kebersihan, dan sopir. Aturan itu dilanggar oleh hampir semua perusahaan tanpa ada sanksi.
”Semua jenis pekerjaan menggunakan jasa outsourcing,” keluh Mudofir.
Posisi tawar lemah
Pada Hari Buruh 1 Mei mendatang, ribuan buruh di Jakarta dan kota-kota lain kembali akan menuntut pencabutan sistem kerja waktu tertentu.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menanggapi biasa saja rencana aksi buruh itu.
”Sepanjang UU Nomor 13/2003 belum diubah, sistem itu tetap berlaku. Tak ada alasan ditolak. Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menegaskan sistem tersebut,” ujarnya.
MK menyidangkan uji materi atas gugatan Didik Suprijadi yang mewakili Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia, Jawa Timur. Menurut Didik, sistem kontrak dan kerja waktu tertentu itu bertentangan dengan UUD 1945. Praktik buruh kontrak dan kerja waktu tertentu tersebut bisa mengarah pada perbudakan modern.
Keputusan MK
menerima sebagian gugatan Didik. Menurut MK, hubungan kerja buruh dan perusahaan penyedia jasa kerja waktu tertentu harus tetap menjamin hak-hak buruh. Agar buruh tak dieksploitasi, MK menetapkan buruh tak mendasarkan perjanjian kerja dengan waktu tertentu, melainkan dengan waktu tak tertentu sepanjang obyek pekerjaan masih ada. Tujuannya, buruh tak dapat seenaknya dipecat. MK juga mengalihkan perlindungan buruh dari perusahaan pengerah kerja kepada perusahaan pemberi kerja. MK tak sependapat UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, penyelewengan sistem kerja waktu tertentu merupakan buntut
rendahnya posisi tawar buruh dan sempitnya lapangan kerja. ”Daripada menganggur, buruh, termasuk sarjana, terpaksa menerima pekerjaan apa pun. Solusinya, harus menambah lapangan kerja baru,” ujar Muhaimin.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Nawawi, dalam diskusi perburuhan di LIPI, Selasa (24/4), mengatakan, kajian LIPI memperlihatkan UU Ketenagakerjaan harus segera direvisi, termasuk pasal-pasal yang diperbaiki MK. ”UU Nomor 13/2003 berparadigma konflik, dan sejak diundangkan terus menuai kontroversi,” kata Nawawi.
Usulan pemerintah mengubah UU Ketenagakerjaan dua kali ditolak DPR RI dengan alasan tidak memihak kepada buruh. Pemerintah harus merevisi UU tersebut karena tak sesuai zaman dan menjadi prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2009-2014. Agar hubungan industrial berjalan baik, perubahan harus dilakukan terbuka, mengedepankan dialog dan jujur. (Har/OIN/NMP)
SUMBER BERITA : LITBANG KOMPAS