Revisi komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
Buruh Indonesia mendukung rencana Kemenakertrans merevisi komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang tercantum dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 17/2005.
Namun pemerintah harus melibatkan perwakilan buruh dalam proses pembahasannya. "Revisi tersebut harus terbuka ke publik dan menyertakan perwakilan buruh dalam pembahasannya," ujar Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timbul Siregar.
Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) No.17 Tahun 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) merupakan acuan dasar dalam penetapan upah minimum sebagaimana amanat UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Permen Nakertrans No.17/2005 disebutkan, KHL adalah standarkehidupan yang harus dipenuhi oleh seorang buruh untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non-fisik, dan sosial untuk kebutuhan 1 bulan.
Namun pemerintah harus melibatkan perwakilan buruh dalam proses pembahasannya. "Revisi tersebut harus terbuka ke publik dan menyertakan perwakilan buruh dalam pembahasannya," ujar Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timbul Siregar.
Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) No.17 Tahun 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) merupakan acuan dasar dalam penetapan upah minimum sebagaimana amanat UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Permen Nakertrans No.17/2005 disebutkan, KHL adalah standarkehidupan yang harus dipenuhi oleh seorang buruh untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non-fisik, dan sosial untuk kebutuhan 1 bulan.
Upah minimum ditetapkan pemerintah. Penetapan upah minimum ini diatur dalam Pasal 89 UU No.13/2003, yang menyebutkan bahwa Upah Minimum terdiri dari upah minimum berdasarkan Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan Upah minimum berdasarkan sektor pada Provinsi dan Kabupaten/Kota. Upah minimun ditetapkan oleh Gubernur.
Untuk itu, OPSI menghendaki agar proses pembahasan revisi Permenakertrans tersebut dilakukan secara jujur dan terbuka. "Pemerintah dan pengusaha harus jujur melihat kondisi buruh yang terus tergerus upah riilnya dan kesejahteraannya, serta jauh dari kelayakan, seperti kondisi tempat tinggal, kecukupan kalori dan sebagainya," ujar Timbul. (ary/int)