Kesejahteraan bagi Sang Pekerja Masih Buruk

JAJAK PENDAPAT

OLEH SULTANI

Buruh adalah aset bangsa. Kontribusi tenaga kerja terbukti ikut menggerakkan dan menopang perekonomian. Namun, publik menilai kondisi perburuhan nasional saat ini masih buruk. Peran pemerintah dan pengusaha untuk memperbaiki kehidupan buruh dianggap belum memadai.

Hasil jajak pendapat Kompas mengungkap pandangan publik bahwa kondisi kesejahteraan buruh dan perlindungan hukum terhadap hak-hak buruh belum memadai. Satu dari dua responden jajak pendapat tersebut menyatakan, secara umum kondisi perburuhan nasional saat ini sangat buruk. Kondisi perburuhan nasional tersebut menyangkut dua hal, yakni upah buruh yang belum layak dan kurangnya perlindungan hukum terhadap buruh.

Lebih dari tiga perempat responden jajak pendapat menegaskan, upah buruh yang diberikan selama ini belum layak memenuhi kebutuhan dasar para buruh. Meskipun pemerintah telah menetapkan standar upah minimum di tiap daerah (UMR), publik menilai angkanya masih jauh dari memadai.

Besarnya perhatian publik terhadap pengupahan buruh karena pemerintah dinilai sering lalai dalam mengawasi pengusaha yang suka memanipulasi upah buruh. Sementara para pengusaha di mata publik enggan membayar upah yang layak kepada buruh karena lebih berorientasi pada akumulasi modal dan keuntungan. Meski sudah menjadi persoalan klasik, sampai saat ini belum tampak terobosan signifikan untuk memperbaiki sistem pengupahan demi kehidupan buruh yang lebih layak.

Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2005, pemerintah menetapkan 46 komponen kebutuhan hidup layak (KHL). Komponen ini harus direvisi karena dianggap kurang sehingga upah yang diterima buruh selama ini masih jauh di bawah KHL. Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia mengusulkan 86 macam KHL agar buruh bisa menikmati hidup yang sejahtera (Kompas, 27/4). Meski demikian, pemerintah harus melakukan jajak pendapat sendiri tentang KHL karena usulan buruh tidak disetujui pengusaha.

Proporsi responden yang tak jauh berbeda (71,3 persen) menyebutkan, perlindungan hukum terhadap para buruh masih buruk. Hal ini terutama menyangkut jaminan hukum terhadap para buruh yang terpaksa berkonflik dengan pengusaha. Dalam banyak kasus perselisihan perburuhan, buruh harus menempuh jalan yang cukup berliku untuk bisa memenangi hak-haknya.

Buruknya perlindungan hukum tampak sangat kasatmata dalam kasus-kasus kekerasan yang menimpa kalangan buruh migran. Meskipun mereka digadang-gadang sebagai pahlawan devisa, tak ada jaminan diberikannya perlindungan hukum yang maksimal di negeri tempat mereka bekerja.

Pemerintah-pengusaha

Gambaran suram terhadap kesejahteraan dan perlindungan hukum kaum buruh dinilai publik berkaitan dengan minimnya upaya pemerintah membuat kebijakan yang bisa mengubah kehidupan buruh. Upaya pemerintah yang diteropong publik jajak pendapat ini menyangkut empat hal, yakni jaminan sosial, jaminan status pekerja, perselisihan perburuhan, serta diskriminasi antara pekerja lokal dan asing.

Terkait dengan empat hal tersebut, mayoritas responden (84,3 persen) melihat pemerintah masih belum bisa menjamin status pekerja. Dengan kata lain, perlindungan atas hak buruh mendapatkan pekerjaan dan tetap bekerja belum bisa dijamin pemerintah. Selain didorong oleh tuntutan akan upah yang layak, banyak perselisihan perburuhan juga kerap terjadi karena tindakan sewenang-wenang pemilik usaha memecat buruh.

Lebih dari tiga perempat responden jajak pendapat ini menyatakan minimnya upaya pemerintah melindungi hak buruh dalam perselisihan perburuhan ataupun kasus-kasus diskriminasi antara pekerja lokal dan asing. Dalam konflik-konflik perburuhan, lembaga bipartit atau tripartit yang menangani perselisihan perburuhan kerap tak mampu memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak para buruh. Lebih jauh, pemerintah juga dinilai kurang bisa melindungi pekerja lokal jika harus berhadapan dengan pengusaha asing.

Pemerintah selaku regulator ketenagakerjaan seolah tak berdaya di hadapan pemilik modal. Atas nama peningkatan investasi, pemerintah lalu merancang sistem pengupahan yang kondusif terhadap iklim investasi. Peran pemerintah dalam memelihara hak-hak dasar buruh, seperti kehidupan yang layak, melemah seiring dengan tuntutan peningkatan investasi.

Akibatnya, hubungan kerja yang tercipta antara pengusaha dan buruh pun berjalan timpang. Pengusaha akan terus mengeksploitasi buruh melalui upah murah serta perlindungan hukum dan kerja yang minim. Realitas kerja seperti ini juga dirasakan responden. Dalam jajak pendapat ini terungkap, 66,1 persen responden menunjukkan kekecewaan mereka terhadap pengusaha dalam memperhatikan nasib buruh. Menurut mereka, peran pengusaha dalam memberikan upah yang layak kepada buruh tidak memadai.

Pandangan yang sama juga diungkapkan 52,2 persen responden terkait dengan penyediaan lingkungan kerja yang nyaman untuk buruh. Bahkan, untuk status buruh pun, 66,4 persen responden masih melihat keengganan para pengusaha dalam memberikan kepastian.

Bebas berserikat

Dari sekian persoalan perburuhan, hanya kebebasan berserikat/berorganisasi yang masih mendapat apresiasi positif dari responden. Melihat pertumbuhan gerakan-gerakan buruh baik di lingkungan kerja maupun lintas sektoral, dinamika pengorganisasian gerakan buruh terus berjalan. Tumbuhnya gerakan-gerakan buruh ini menjadi wadah untuk membentuk kesadaran para buruh terkait dengan pelanggaran atas hak-hak dasar mereka yang dilakukan perusahaan dan negara.

Terkait dengan sejumlah aksi buruh yang dilakukan selama ini, 69,6 persen responden masih bisa menoleransi mereka. Apresiasi terhadap aksi tersebut boleh jadi merupakan bentuk dukungan moril terhadap buruh untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Setidaknya gerakan buruh tersebut menjadi saluran suara para buruh untuk menyuarakan eksploitasi yang mereka alami.

Isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) juga menjadi salah satu pemicu aksi buruh belakangan ini. Bahkan, pada 1 Mei (May Day), sejumlah gerakan buruh akan melakukan aksi damai terkait dengan beberapa isu penting mengenai buruh dan isu-isu umum terkini, yaitu BBM. Sisi lain dari penilaian publik, delapan dari sepuluh responden mengaku khawatir aksi buruh ini bisa berubah menjadi kerusuhan.



SUMBER BERITA : LITBANG K.SPSI dan KOMPAS