Melawan Modus Baru Pelarangan Berserikat

Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Nomor 98 Organisasi Buruh Internasional tentang Kebebasan Berserikat sejak 12 tahun lalu. Meski begitu, banyak kasus buruh dan pekerja bertentangan dengan hak dasar yang diatur Undang-Undang Dasar 1945 ataupun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh.

Kompas mencatat, kasus pemberangusan kebebasan berserikat (union busting) hingga kini terus terjadi dengan banyak modus. Modus-modus itu mulai dari memutasi, menuduh pencemaran nama baik, hingga memecat pengurus dan anggota serikat pekerja atau serikat buruh (SP/SB). Padahal, kasus hukum melawan pemberangusan pernah ada tahun 2009.

General Manager PT King Jim Indonesia di Pasuruan, Jawa Timur, Fathoni Prawata, tiga tahun lalu divonis penjara 1 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Bangil, Pasuruan, karena terbukti bersalah menghalangi kegiatan SP/SB di perusahaannya. Vonis PN Bangil itu lalu diperkuat Pengadilan Tinggi Surabaya dan Mahkamah Agung.

Meski ada yurisprudensi, kasus pemberangusan terus terjadi. Selain pemutusan hubungan kerja (PHK) 118 anggota SP/SB Londre, PT Perusahaan Listrik Negara, PT Angkasa Pura I, Serikat Karyawan (SK) Indosiar, juga yang terbaru adalah PHK 13 jurnalis pengurus SK di harian Indonesia Finance Today. Kasusnya baru-baru ini dilaporkan ke Polda Metro Jaya.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar kepada Kompas, Senin (23/4) di Jakarta, membenarkan banyak modus baru pengusaha memberangus SP/SB.

”Pengusaha banyak beralasan SP/SB dan SK susah diajak bicara, membuat macet negosiasi, dan lain-lain sehingga tak diperlukan. Padahal, itu tak boleh,” kata Muhaimin.

Untuk mencegah pemberangusan, pengawasan tenaga kerja, dan penyelesaian tripartit antara buruh, pengusaha, dan pemerintah bisa dioptimalkan. ”Buruh ingin kasus union busting dibawa ke pidana. Jadi, bukan perselisihan perburuhan atau perdata,” lanjut Muhaimin yang meminta Polri dan Kejaksaan menjerat kasus union busting dengan pasal pidana. Supaya mudah dipahami Polri dan jaksa, istilah pun diganti menjadi pelarangan kebebasan berserikat.

Hegemoni kekuasaan

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, union busting harus didefinisi ulang, tak bisa dikategorikan tindakan pidana. Karena ada perselisihan antara pengusaha dan buruh, harus masuk hukum perdata.

”Serahkan kebebasan berserikat ke buruh dan pengusaha. Banyak yang tak mau membuat SP/SB karena merasa tak berguna,” ujar Sofjan, Rabu (25/4).

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan, kebebasan berserikat menjadi salah satu dari tiga tuntutan buruh pada Hari Buruh 1 Mei. ”Kami menolak pemberangusan SP/SB dan menuntut kebebasan berserikat. Ini penting bagi buruh menghadapi hegemoni pengusaha dan aparat,” ujar Said.

Pendapat senada diungkapkan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Andi Gani Nena Wea.

”Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum memberi sanksi pidana untuk pelarangan SP/SB,” katanya.

SPSI versi kepemimpinan Yorrys Raweyai dan SPSI versi Syukur Sarto juga menolak pemberangusan. Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Mudofir mendukung perlunya aturan hukum bagi pelanggar kebebasan berserikat.

”Masih ada pengusaha anti organisasi buruh, padahal penegakan hukum di sini lemah. Bagaimana duduk berunding dan bernegosiasi jika hak dasar berserikat dan berpendapat tak dibolehkan?” katanya.

Tentu, bagaimana bicara kesejahteraan jika menegakkan yang fundamental pun susah bagi buruh.


SUMBER BERITA :
http://bheleque.wordpress.com