Tidak Miskin, Tetapi Jauh Dari Sejahtera
Kehidupan ekonomi kaum buruh Indonesia memprihatinkan. Padahal, buruh bukan hanya faktor utama produksi, melainkan juga salah satu pilar demokrasi yang dapat diharapkan komitmennya membangun masyarakat madani.
Dalam diskusi di Kompas, Jakarta, Sabtu (21/4), Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai, penerimaan terhadap partai politik menurun akibat kasus korupsi. Media massa sebagai pilar keempat demokrasi dikhawatirkan menurun daya kontrolnya karena bermetamorfosis menjadi industri.
Buruh di Indonesia adalah pelaku utama industri yang berkontribusi 27 persen terhadap produk domestik bruto rata-rata dalam enam tahun terakhir. Jumlah pekerja saat ini 110 juta jiwa. Sekitar 33 juta orang di antaranya bekerja di sektor formal, tetapi baru 3,4 persen yang aktif di serikat pekerja. Itu jauh dari ideal 20-25 persen, seperti di Eropa yang mampu memengaruhi kebijakan pemerintah.
Tingkat kesejahteraan yang rendah membuat buruh terpecah dalam lima konfederasi serikat pekerja. Mereka terus meneriakkan isu rendahnya upah karena upah minimum kabupaten (UMK) tidak menyejahterakan.
UMK sekadar cukup, tetapi dengan banyak pengorbanan. Upah buruh di Bekasi, misalnya, Rp 1,849 juta per bulan, banyak yang mendapat lebih kecil. Upah itu cukup untuk makan seadanya, menyewa satu kamar ukuran 3 x 4 meter, termasuk kamar mandi dan dapur, untuk 3-4 orang, dan transportasi. Tak cukup untuk meningkatkan pendidikan dan tidak bisa mencicil rumah.
Idealnya, buruh bekerja delapan jam untuk mendapatkan upah layak, tetapi di Indonesia dengan lembur pun belum tentu memperoleh upah layak. ”Sering kali lembur dua atau tiga jam, tetapi tetap dihitung satu jam,” tutur Rahmat (34) saat ditemui di Cikarang, Bekasi, Senin (23/4).
Status hubungan industrial pun memperparah keadaan karena 47 persen dari jumlah pekerja formal terikat kontrak sebagai pekerja waktu tertentu (outsource) dengan masa kontrak dua tahun. Selepas masa kontrak, buruh otomatis menganggur. Tidak semua pekerja bergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh. Kalaupun ada serikat pekerja/serikat buruh, tidak semua memiliki perjanjian kerja bersama dengan pabrik.
Meski buruh menyumbang sekitar Rp 300 triliun per tahun atau 27 persen dari total penerimaan negara melalui pajak penghasilan, tidak satu pos anggaran pun dialokasikan untuk buruh.
Kehidupan bisa dianggap layak jika lima jaminan sosial, yakni jaminan kesehatan, hari tua, keselamatan kerja, pensiun, dan kematian, terpenuhi. Selain itu, ada jaminan perumahan, transportasi, dan jaminan pendidikan untuk anak-anak buruh.
Said menuntut subsidi rumah buruh Rp 20 juta untuk rumah sederhana seharga Rp 60 juta (rencananya ada 200.000 unit). ”Kami juga ingin pemerintah menyediakan bus karyawan dari pemukiman ke pabrik dengan tarif subsidi, seperti di India. Biaya rumah dan transportasi memakan 30 persen penghasilan buruh,” tuturnya.
Revisi KHL
Kunci meningkatkan kesejahteraan buruh adalah revisi Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2005 yang mengatur 46 komponen kebutuhan hidup layak (KHL).
Beberapa komponen KHL, seperti ikan tiga potong sebulan dan konsumsi 0,75 kilogram daging sapi sebulan, dianggap jauh dari sejahtera. Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) usul perubahan komponen KHL menjadi 86 macam. ”Ukuran KHL 2005 tidak layak. Buruh tidak masuk kategori miskin, tetapi sangat tidak sejahtera,” kata Panglima Garda Metal Baris Silitonga yang ditugasi FSPMI melakukan survei KHL tahun lalu.
Pemerintah melakukan sendiri survei KHL baru karena pengusaha tak setuju usulan buruh. Survei akan tuntas Juli 2012 dan digunakan sebagai dasar penentuan upah mulai 2013. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan, pemerintah memperhatikan suara buruh dengan memberi dukungan APBN melalui rencana menaikkan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) khusus untuk buruh. Presiden pun sudah setuju. Saat ini PTKP nasional Rp 15,8 juta per tahun. ”Pengusaha masih keliru memaknai UMK. UMK hanya layak bagi pekerja lajang dan bekerja di bawah setahun karena namanya minimum,” ujarnya.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, buruh seharusnya tidak hanya memperjuangkan nasibnya sendiri, tetapi juga nasib perusahaan. ”Bila buruh sejahtera, perusahaan terus berkembang. Syukur kalau terus untung sehingga berdampak ke buruh,” ujar Sofjan saat dihubungi Kompas, Rabu (25/4).
Aktivis buruh perempuan zaman Orde Baru yang kini menjadi Staf Khusus Menakertrans, Dita Indah Sari, dalam perbincangan dengan Kompas, Senin (23/4), menyarankan, buruh dan pengusaha sebaiknya mulai mendorong perbaikan lebih fundamental. Isunya terkait perbaikan infrastruktur, pungli, premanisme, pasokan listrik, kenaikan harga bahan bakar minyak, hingga tingginya bunga bank.
”Ini penting agar industri dalam negeri tidak digilas globalisasi yang memungkinkan masuknya produk asing lebih banyak ,” ujarnya.
SUMBER BERITA :http://bheleque.wordpress.com