Politik Upah Murah, Sebuah Keharusan!
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Upah Minimum Kota (UMK), 2 sebutan ini begitu dekat di telinga dalam 2 bulan terakhir, mungkin juga dekat di hati, khususnya bagi para buruh yang tengah berharap-harap cemas upahnya bisa naik dan hidupnya betul-betul bisa layak. Ya, beberapa waktu lalu, UMK untuk 2012 memang telah di-dok, disahkan, juga, diselingi demontrasi ribuan buruh di kota-kota yang meradang karena upah baru tak juga mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka, bahkan untuk ukuran seorang buruh lajang. Memang, wajar jika buruh tak pernah benar-benar puas, apalagi untuk merasa upahnya cukup untuk menjalani hidup layak. Begitulah, aktivitas rutin para Dewan Pengupahan terpilih, setiap tahun disibukkan dengan aktivitas survey harga bahan pokok di pasar dan pada akhirnya menghasilkan sebuah nilai UMK baru bagi buruh. Sungguh, kedengarannya begitu sempurna sekali sistem pengupahan ini, ada sebutan Dewan Pengupahan; Kebutuhan Hidup layak; dan yang terakhir, Upah Minimum Kota. Namun, meskipun nampaknya model pengupahan kita terlihat ‘sempurna’, benarkah hidup para buruh se-sempurna sebutan-sebutan prosedural tersebut? Mari mencari jawabnya. Sistem pengupahan di Indonesia berdasar pada Undang-Undang Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003, khususnya pada pasal 88-89 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja no 17 tahun 2005 tentang “Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak”. Sedangkan basis dari sistem penentuan upah berpijak pada indeks biaya hidup dan Produk Domestik Bruto. Secara sederhana, model pengupahan kita berbasis Kebutuhan Hidup layak. Sampai disini mungkin saja beberapa dari kita masih terkagum-kagum dengan dasar-dasar hukum yang digunakan para borjuis kapitalistik untuk menjamin secara hukum penentuan upah kita. Namun, seperti yang kita semua sudah tahu, hukum-hukum yang mereka buat dengan segera dapat mereka langgar ataupun diubah sesuai dengan selera dan kepentingan mereka. Kita coba menelanjangi hukum-hukum yang dibuat oleh borjuasi, mulai dari komposisi Dewan Pengupahan. Sebagai contoh, saya ambil kasus upah di Jombang-Jawa Timur. Dewan Pengupahan di kota tersebut terdiri dari 17 orang: 3 orang perwakilan dari Serikat Buruh, 4 orang dari Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), 3 orang dari Pemerintah dan sisanya dari unsur akademisi. Jelas, dari komposisi tersebut, jumlah keterwakilan buruh yang hanya 3 orang melemahkan daya tawar mereka, apalagi jika mekanisme terakhir yang diambil dalam menentukan besaran UMK versi Dewan Pengupahan adalah melalui voting. Tidak hanya itu, untuk penambahan wakil dari SB, ada syarat khusus yang harus dipenuhi, yakni, perwakilan serikat buruh tersebut harus memiliki anggota setidaknya 3000 orang! Ya, sungguh persyaratan yang berat, di tengah kondisi banyaknya buruh yang masih pragmatis. Ironisnya, persyaratan semacam ini hanya untuk serikat buruh, dan bukan untuk elemen lain yang tergabung dalam dewan pengupahan seperti akademisi, apindo dll. Pada pasal 88 ayat 4 UUK no 13 th 2003, berbunyi, ”Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi”. Pasal ini mengatakan bahwa dalam menentukan upah pemerintah berdasar pada angka kebutuhan hidup layak dan tentu saja, sesuai dengan pertumbuhan ekonomi. Pertanyaannya, bagaimana cara menentukan angka kebutuhan hidup layak dan apa saja komponennya? Dari Permenaker 17 th 2005, saya mendapati 46 komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), dan sesuai dengan pendapat para ahli gizi dan dari Kebutuhan Fisik Minimum, kebutuhan minimum buruh untuk dapat hidup dan bekerja dengan sehat, adalah 3000 kalori. Ini ukuran untuk buruh lajang, lalu bagaimana dengan buruh berkeluarga? Ini pertanyaan yang sampai sekarang belum pernah dijawab oleh kapitalisme, mungkin di akhir artikel, para kapitalis masih mencari cara untuk menjawabnya, kita beri saja mereka sedikit waktu. Untuk memudahkan gambaran KHL kita, berikut tabel komponen KHL tersebut:
Namun, jangan senang dulu. Tabel komponen KHL ini tak pernah benar-benar digunakan para borjuis kapitalis untuk menentukan besaran upah. Seperti yang saya katakan di awal, mereka dapat dengan mudah mengabaikan aturan-aturan yang telah mereka buat. Bisa disebut 46 komponen ini hanya sekedar formalitas, karena teori yang mereka buat tak pernah sama dengan praktek yang mereka jalankan di lapangan. Karena memang itulah tujuannya. Menteri Tenaga Kerja, Muhaimin Iskandar, beberapa waktu lalu dengan sangat percaya diri mengatakan di media bahwa besaran upah buruh untuk tahun 2012 sudah dijalankan sesuai dengan mekanisme yang dibuat oleh pemerintah. Meskipun begitu, demontrasi puluhan ribu buruh di kota-kota nampaknya menolak mentah-mentah argumentasi sang menteri. Dewan Pengupahan pun, dalam melakukan surveynya, tidak mencermati hal-hal teknis yang sebenarnya justru menjadi pangkal masalah. Tempat-tempat yang menjadi sasaran survey oleh dewan pengupahan adalah pasar tradisional yang notabene justru lebih murah dari tempat lain. Padahal dengan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh buruh – karena harus berangkat kerja pagi hari – buruh lebih memilih untuk membeli barang pokok kebutuhannya di tempat yang mudah mereka jangkau, semisal di warung-warung terdekat, tentunya dengan konsekwensi harganya lebih mahal dari pasar tradisional. Hal teknis lainnya yang salah dan selalu terulang dari tahun ke tahun adalah proses tawar menawar. Dalam melakukan survey, dewan pengupahan tidak boleh melakukan tawar menawar terhadap harga barang, apalagi jika survey dilakukan di pasar dan waktunya sudah menjelang siang. Semakin siang melakukan survey, maka harga tersebut semakin turun, dan tentunya ini sebuah barang pokok dengan kualitas buruk, karena tak lagi segar. Pada akhirnya, tentu, besaran harga yang disurvey akan berbeda dengan praktek ketika buruh berbelanja untuk memenuhi kebutuhannya. Persoalan tak berhenti sampai disini. Meskipun, serikat buruh punya keterwakilan di dewan pengupahan, namun dalam proses pembahasan upah, lagi-lagi buruh akan keok juga jika dihadapkan pada mekanisme terakhir , yakni, voting. Dan jangan berharap elemen akademisi dan pemerintah akan berpihak pada buruh, karena sejarah tak banyak menulis kemungkinan itu. Harapan terakhir seolah-olah ada di tangan pemegang kuasa, sang Gubernur. Namun angka yang dihasilkan dari perdebatan alot di dewan pengupahan hanya menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukkan UMK, karena semua keputusan akan kembali pada kekuasaan tertinggi di masing-masing provinsi, yakni melalui SK Gubernur. Sungguh, sekedar pelengkap hiburan semu bagi harapan buruh. Dan, lagi-lagi sejarah tak pernah mencatat bahwa kenaikan upah buruh didapat melalui kebaikan sang Gubernur. Nonsense! Dari hasil survey independen yang dilakukan oleh Serikat Buruh Plywood Jombang (SBPJ), di 3 pasar lokal, Pasar Legi, Pasar Ploso, dan Pasar Mojoagung, menghasilkan nilai KHL sejumlah Rp. 1.636.418 , sedangkan nilai UMK Jombang yang di-dok oleh Gubernur untuk tahun 2012 adalah Rp. 978. 200 dengan nilai KHL sebesar Rp. 1.022. 259 . Tiba di akhir artikel, kapitalisme kehabisan waktu, dan dia harus menjawab pertanyaan yang belum pernah dijawab sampai dengan hari ini. Dengan beban misalkan 1 orang anak yang bersekolah dan butuh membayar biaya pendidikan, apakah UMK Kota Jombang, dengan nilai Rp. 978. 200 mampu memenuhi kebutuhan keluarga buruh tersebut? Belum lagi jika diasumsikan dalam 1 keluarga ada 3 orang yang mulutnya menanti asupan makan? Dan pada akhirnya, buruh harus kembali dikecewakan oleh kapitalisme, karena mekanisme penentuan upah lagi-lagi merugikan buruh, yang secara pasti tidak akan pernah bisa memenuhi kebutuhan buruh. Ya, Kapitalisme tak dapat dan tak akan pernah mau menjawab pertanyaan ini, karena politik upah murah sudah menjadi keharusan, dan tentunya, sebuah akumulasi penindasan bagi para buruh. Bagi kita, |
Semoga Bermanfaat Buat Anda
: