Gerakan Buruh dan Partai Politik
Kekacauan ekonomi dan politik di Indonesia benar-benar telah dipertontonkan dengan terang-terangan. Hampir tiap hari, acara-acara di televisi tak sepi dari berita mengenai kebijakan pemerintah yang jelas-jelas tidak populer dan tidak berpihak kepada rakyat pekerja. Bayangkan saja, di saat jutaan rakyat pekerja bingung memikirkan masalah kebutuhan dasar yang pelik, para petinggi negara ini malah sibuk menggerogoti uang rakyat dengan membuat anggaran belanja yang tak masuk akal. Anda pasti tertawa ngakak – atau justru geram – ketika mendengar angka miliaran rupiah hanya untuk pewangi ruangan gedung DPR dan belanja makanan rusa. Ya, untuk sekawanan rusa yang berkandang di belakang gedung DPR—yang entah untuk apa. Dan masih banyak lagi angka-angka fantastis yang tak bisa sebutkan di sini, yang bisa membuat bulu kuduk kita—‘sekawanan’ orang miskin—berdiri kaku hingga berjam-jam.
Tidak hanya tingkah polah para pejabat korup ini yang di mata kita terlihat menggelikan sekaligus memuakkan, tetapi juga kebijakan pemerintah yang menyengsarakan hidup rakyat—terutama kaum buruh, yang gajinya terpatok oleh UMK. Kebijakan pemerintah, baik yang sudah berjalan maupun yang akan dijalankan, sungguh tidak populer di mata rakyat. Contohnya rencana pembatasan subsidi BBM, mengenai transportasi, tarif dasar kebutuhan energi, dll.
Di tengah keresahan masyarakat ini, serikat buruh harus bisa menjadi pemimpin dan penggerak perubahan, dan membawa revolusi sosial yang memang menjadi tugas historis kaum buruh. Gagasan yang dapat menggiring buruh ke tugas historisnya adalah gagasan Marxisme.Inilah titik utama yang akan saya tarik di sini, bahwa ide-ide Marxis adalah ide-ide, secara terotik dan praksis, yang pertama-tama mendukung perjuangan buruh; bahwa Marxisme merupakan sebuah teori perjuangan yang membentuk kaitan integral antara revolusi sosial dan gerakan buruh, dan melihat gerakan buruh sebagai fakta revolusioner. Di luar Marxisme tidak ada teori perjuangan yang integral dengan perjuangan kelas buruh; tidak ada teori revolusioner yang memiliki dasar teoritis yang menghubungkan perspektif revolusionernya dengan gerakan buruh.
Analisis kelas Marxis telah menempatkan buruh sebagai elemen paling progresif dalam pembentukan revolusi sosial. “Kokohnya” kekuasaan borjuasi seperti sekarang ini, yang berhasil menciptakan sebuah imperium korup di negeri ini, hanya bisa ditumbangkan oleh perjuangan kelas buruh. Kita tidak bisa berharap dari kelas-kelas lain. Sudah berulangkali kita ditipu oleh elemen-elemen lain. Perubahan tata sosial yang diperjuangkan oleh rakyat berulangkali pula dibelokkan kembali ke tatanan lama dengan baju baru. Partai-partai borjuis terus menerus dan tak henti-henti menipu rakyat, menipu kelas buruh, menipu kaum tani dan miskin kota; menjadikannya komoditas politik; menyuapinya dengan makanan kosong—dengan ilusi-ilusi tentang “demokrasi” dan “perubahan ke arah yang lebih baik”. Ya, sekali lagi, hanya dengan perjuangan kelas buruh revolusi sosial yang sesungguhnya akan terwujud. Marx, dalam Manifesto Partai Komunis, pernah menulis: “Dari semua kelas yang sekarang berdiri berhadap-hadapan dengan borjuasi, hanya proletariatlah satu-satunya kelas yang betul-betul revolusioner.”
Mungkin anda akan bertanya: “Kenapa kelas buruh, dalam analisis Marxis, yang paling progresif? Apakah ini relevan untuk menyelesaikan masalah-masalah di Indonesia, yang ‘faktanya’, ada kelas-kelas lain yang jauh progresif dibanding kelas buruh yang sedang berjuang menuju Indonesia yang lebih baik?” Jawaban saya, sekaligus pertanyaan balik: “Apakah yang anda maksud adalah orang-orang yang sering tampil di televisi; para politisi borjuis; para pengurus partai yang gemar bicara tentang reformasi, restorasi, demokratisasi; para aktivis kemanusiaan yang terus-menerus berbicara tentang hak asasi manusia dan penegakan hukum?”
Siapa kelas yang berkontradiksi secara langsung dengan kapitalisme; kelas yang mudah diorganisasi dan dimobilisasi karena berada dalam ritme, irama, dan psikologi yang sama; kelas yang—untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari—hanya, mau tak mau, menjual tenaga kerjanya kepada para pemilik modal? Ya, mereka adalah kelas buruh, dan kita hanya bisa berharap daripadanya. Trotsky menulis: “Dengan mengambil kekuasaan, kelas buruh akan membuka sebuah era baru, sebuah era legislatif yang revolusioner, sebuah era yang penuh dengan kebijakan positif....”
Buruh harus terus berjuang membuka kedok demokrasi munafik di negeri ini; kita harus terus-menerus mengekspos keburukan para politisi borjuis dan partai-partai mereka; kita harus mulai berani memisahkan diri dari elemen-elemen cecunguk “progresif”. Kita harus menggunakan situasi ini untuk menjelaskan kepada seluruh lapisan rakyat tertindas mengenai tujuan perjuangan kelas buruh; bahwa dasar gerakan buruh adalah perjuangan untuk kehidupan yang lebih layak bagi seluruh massa rakyat tertindas.
Untuk bisa bergerak dari tuntutan normatif ke tuntutan politik untuk menjawab keresahan masyarakat luas, dibutuhkan sebuah partai politik. Bukan partai politik sembarangan untuk meraup suara saja dan mendapatkan kursi, tetapi sebuah partai politik yang lahir dari perjuangan kelas buruh, sebuah partai buruh yang basisnya adalah serikat-serikat buruh. Partai politik ini dapat menyatukan kehendak jutaan rakyat pekerja Indonesia menjadi satu, dan mengedepankan dirinya sebagai alternatif dari partai-partai politik borjuasi yang mendominasi perpolitikan Indonesia.
Dengan adanya partai buruh, enerji revolusioner yang sangat besar dari kelas buruh dan rakyat tertindas lainnya akan terakumulasi. Enerji ini tidak boleh menguap tanpa hasil. Enerji ini tidak boleh dihambur-hamburkan di dalam demonstrasi yang terpecah-pecah dan tanpa kepaduan serta tanpa rencana yang pasti. Kita harus memusatkan usaha-usaha kita untuk mengkonsentrasikan kegeraman, kemarahan, protes-protes, kegusaran, dan kebencian rakyat; untuk memberikan emosi-emosi tersebut, sebuah ekspresi harus tersatukan; sebuah gol harus tersatukan. Kata Trotsky, “Bila pemahaman ini telah tercapai, maka setengah revolusi telah tercapai.”
Marx telah menjelaskan bahwa emansipasi kelas buruh adalah tugas kelas buruh itu sendiri. Massa kelas buruh belajar dari pengalaman. Mereka tidak belajar dari buku. Hal itu bukan karena mereka tidak memiliki kecerdasan, sebagaimana yang sering digambarkan oleh kelas menengah, tetapi karena mereka kekurangan waktu. Tetapi—sebagaimana dikatakan oleh Alan Woods—bahwa kelas buruh tidak secara otomatis mampu sampai pada kesimpulan revolusioner. Jika begitu, tugas membangun revolusioner akan sia-sia. Tugas mentransformasikan kesadaran masyarakat akan bermakna sederhana jika gerakan kelas buruh berlangsung dalam garis yang lurus. Hal yang seperti ini tidak pernah terjadi. Selama periode sejarah yang panjang, kelas buruh datang untuk memahami kebutuhan organisasi. Melalui pembentukan organisasi—baik pembentukan keserikatan buruh dan, pada tingkat yang lebih tinggi, pembentukan karakter politik—kelas buruh mulai mengekspresikan dirinya sebagai sebuah kelas, dengan sebuah identitas yang independen.
Tetapi, terus terang harus kita akui, pekerjaan ke arah ini tidaklah mudah. Bahkan sangat sulit. Kita akan dihadapkan pada persoalan tradisi ekonomis di serikat-serikat buruh. Banyak pemimpin serikat-serikat buruh yang berpikiran ala Gompers, yang menaruh iman perjuangan buruhnya hanya pada gerakan ekonomi saja, bukan pada gerakan politik revolusioner terorganisir.
Serikat buruh adalah organisasi yang paling unggul dibanding organisasi- organisasi lain, karena kemampuannya dalam mengorganisir sebuah kelas—yang memiliki perspektif, tujuan, suasana psikologis, dan ritme yang sama. Tetapi persoalannya, sebagian besar serikat-serikat buruh belum memiliki ide dan program politik yang jelas, atau lebih tepatnya mereka belum memiliki wadah politik yang revolusioner; mereka masih bergerak di atas tuntutan-tuntutan ekonomik; di atas tuntutan “upah layak” agar terpenuhi kebutuhan sehari-harinya. Di sinilah letak peran partai buruh, menjadi wadah politik dari serikat buruh.SUMBER BERITA :